HANURA TAK KAN KHIANAT HIDUP MATI UNTUK RAKYAT
DPC. PARTAI HANURA KAB.BONE
Rabu, 20 April 2011
Inilah Hati Nurani
Diposting oleh
DPC HANURA BONE
Orang yang memancarkan pribadi samadhi dan menampakkan kebijaksanaan, pasti bukan orang yang asal-asalan. Bukan tipe yang sandal kirinya di sini, sandal kanannya entah ada dimana. Ketika melepaskan sandal, mereka akan meletakkan dengan baik di tempatnya. Ketika berpakaian, mereka rapi. Ketika berjanji untuk bertemu, mereka tak membuat orang lain menunggu. Ketika melaksanakan tugas, mereka bertanggung jawab. Ketika berkarya, mereka memancarkan kasih. Tak meletakkan pendapatku, keinginanku, mau ku sebagai sang nomor satu, melainkan kehendak LAOMU. Mereka tidak membina Ketuhanan dengan caraku atau cara mereka, tetapi teguh memegang Firman, bercinta kasih dan bijak dalam tindak-tanduk. Kalau dia adalah sesepuh, maka beliau akan abadi dalam ingatan kita. Kalau dia adalah pandita, maka beliau akan diingat dan dikenang dengan kasih sayang bagaikan orang tua yang tercinta. Kalau dia adalah Than cu, maka kita akan spontan mencarinya ketika berada dalam masalah. Kalau dia adalah saudara se-Ketuhanan, maka kita akan suka mendengar bimbingan dan nasehatnya. Orang yang memancarkan kebajikan tidak menakutkan, tidak mendongkolkan, tidak disumpah-sumpah dalam hati, melainkan orang akan senang berada di dekatnya. Mereka adalah orang yang membina Ketuhanan dengan meletakkan LAOMU sebagai Sang Nomor Satu dalam dirinya. Datang ke vihara, mereka tidak sembrono. Vihara adalah Rumah.
LAOMU, Buddha Maitreya, She Cun – She Mu, dan para Buddha Bodhisatva. Setiap perilaku berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan dan dosa. Mereka memiliki disiplin diri yang tinggi terhadap diri sendiri, tetapi juga sekaligus kasih yang melimpah untuk orang lain. Disiplin tanpa kasih, kita bisa membayangkan kehidupan militer. Kasih tanpa disiplin kita bisa membayangkan betapa mudahnya manusia jatuh dalam kemanjaan diri dan memanjakan orang lain tanpa perlu. Bisakah kita menjadi sejati nurani, ialah yang paling sederhana, paling biasa, paling selaras dengan pribadi manusia. Seperti mereka? Bisakah dalam perjalanan membina diri kita menjadi bijak? Bukan tanpa alasan Sang Buddha meletakkan pembinaan sila mendahului samadhi dan prajna. Tanpa samadhi tak akan ada prajna yang sempurna, tanpa sila tak akan ada samadhi yang menyeluruh. Jadi membina dari aspek sila adalah cara membina yang paling mendasar.
Begitu pula dalam membina Ketuhanan kita menerapkan Etika Kebuddhaan dalam kehidupan. Jangan dua kata ‘Etika Kebuddhaan’ ini membuat kita membayangkan seorang pertapa yang kurus-kering berbalut tulang duduk bermeditasi di bawah pohon beringin raksasa. Etika Kebuddhaan adalah etika nurani, dan etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang artinya kebiasaan.
Jadi melaksanakan Etika Kebuddhaan artinya adalah membangun kebiasaan untuk berhati nurani. Hati nurani? Jangan dulu membayangkan tidur empat jam sehari karena sibuk mengerjakan ini itu, dari segala yang serba kurang, kurang makan, kurang minum, kurang istirahat. Hati nurani bisa dimanifestasikan oleh siapapun karena sesungguhnya hati nurani selalu yang paling bersahabat. Bukan sesuatu yang bikin kurang tidur, makan, istirahat, lalu apa itu hati nurani? Hati nurani, ialah yang paling sederhana, paling biasa, paling selaras dengan pribadi manusia. Di dalam ‘Insaf Nurani’, Y.M. Maha Sesepuh Wang memberi contoh ketika makan, terhidang di meja makanan yang sangat kita sukai dan semua orang juga menyukainya. Bukan berarti kita jangan mengambilnya, tetapi jangan terlalu banyak. Ketika orang-orang sudah berangkat tidur dan kita masuk ke kamar maka buka-tutup pintu, naik ke tempat tidur, dengan hati-hati tidak menimbulkan suara berisik. Memeriksa lampu sebelum tidur, menutup kran air, merapikan buah sajian, pelita suci, jok sembahyang yang kurang rapi. Inilah bagian dari melaksanakan etika nurani. Inilah pancaran hati nurani dan kita membiasakan diri melakukannya.
Semoga dengan demikian suatu ketika pembina akan merasakan keleluasaan dalam melakukan perbuatan nuraniah. Melakukan bukan karena kata sesepuh atau pandita, melainkan sedemikian wajarnya seperti ketika perut lapar kita makan. Ketika saat itu tiba, maka pembina telah mencapai persatuan dengan Buddha Maitreya pada tingkat tertentu. Dia telah mencapai pembinaan samadhi. lnilah sabda Y.M. Maha Sesepu Wang, mari bersatu hati dan memahaminya dengan hati nurani, ‘Samadhi bukan berarti duduk bermeditasi melainkan harus senantias berteguh dan berbuat sesuai dengan hati Tuhan dan Tri Buddha.’
Masih banyak lagi hal yang tampaknya kecil namun sesungguhnya tidak kecil karena inilah perjuangan membina Ketuhanan dalam kehidupan sekarang juga. Satu di antaranya adalah etika berkendaraan ke vihara. Ketika tiba, maka berhentilah di depan pintu dan matikan mesin motor, lalu didorong masuk ke halaman vihara.
Seorang sahabat Ketuhanan berkata jangan memberi asap knalpot kepada LAOMU. Ketika parkir, maka kendaraan berada dalam posisi lurus dan sebisanya dilakukan dekat kendaraan yang sudah ada agar tidak menyita banyak tempat. Tentunya area parkir terbatas dan kendaraan yang datang belakangan terpaksa diparkir di luar vihara. Pada hari besar seperti ce it dan cap go, jika ada saudara Ketuhanan yang menjaga kendaraan maka stan jangan dikunci. Saat pulang, jangan lupa mengucapkan sie sie che pei dan mendoakan Mi Lek Cu She hu yo! pada saudara Ketuhanan yang saat itu bertugas di parkiran. Letakkan helm pada posisi telungkup sehingga jika tiba-tiba hujan orang lain tidak perlu repot membalikkan helm kita.
Hal kecil? Syukurlah kita sangat bisa melakukannya. Jika Anda bertanya kepada saya apa itu hati nurani, maka jawaban saya, ‘Inilah HATI NURANI.’ Inilah jalan menuju prajna. (cy)Sumber : Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kontak Kami
Email : dpchanurabone@yahoo.com
Website / Blog : www.dpchanurabone.blogspot.com
Mobile : 085 255 466 155
Website / Blog : www.dpchanurabone.blogspot.com
Mobile : 085 255 466 155
BB : 2ad9d210
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda