Misalnya hari ini, disebut Tumpek Landep. Pengertian yang umum dikenal oleh kebanyakan orang adalah mengaturkan sesajen untuk semua alat yang terbuat dari besi.
Pengertian ini terus-menerus diwariskan kepada generasi muda. Maka yang terjadi adalah memberikan sesajen di mobil, sepeda motor, televisi, kulkas. Mungkin sudah ada pula yang memberikan sesajen di komputer, laptop, kompor gas, handphone, mesin faksimile, entah apa lagi. Padahal orang-orang Bali di masa lalu hanya memberikan sesajen itu pada jenis-jenis pisau, pahat, tombak, keris dan sebagainya. Bukan karena terbuat dari logam besi, tetapi ada unsur ''tajam''. Tumpek Landep adalah ritual untuk mengasah ''ketajaman'', bukan untuk ''otonan motor'' sebagaimana yang lazim disebut sekarang ini.
Jika dirunut ke belakang, Tumpek Landep berkaitan dengan ritual sejak hari Saraswati.
Pada hari itu kita memuja Dewa Brahma agar ''shakti Beliau'' yakni Dewi Saraswati menurunkan ilmu pengetahuan. Setelah memohon pada Dewi Saraswati, esok harinya kita melakukan pembersihan rohani (ritual banyu pinaruh). Esoknya, soma ribek, dimulai proses pembelajaran. Esoknya lagi, sabuhmas, menabung segala ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari. Ilmu pengetahuan yang terkumpul itu kemudian dijadikan benteng kehidupan dan dirayakan sebagai Pagerwesi. Ilmu itulah yang terus kita asah dalam rentang waktu sepuluh hari sehingga pada Tumpek Landep kita rayakan dengan pawintenan, yang intinya memohon kepada Hyang Pasupati agar kita tetap punya ketajaman pikiran.
Itu sebabnya, pada hari Tumpek Landep, di gria para sulinggih banyak dilakukan pawintenan, kalau dalam bahasa modern bisa disebut ''hari wisuda''. Nah, karena di masa lalu kehidupan masyarakat Bali murni agraris, sarana kerja pun ikut ''diasah'' dan diberikan sesajen seperti pisau, cangkul, pahat, tumbak, keris dan sebagainya.
Kini, ketika kehidupan berubah dari agraris ke industri, sarana yang perlu dipertajam bisa saja berganti. Komputer dan laptop, ya... bisa diberikan sesajen, mobil dan motor, juga tak salah. Tetapi yang inti bukan itu, kitalah sebagai ''manusia yang berpikir'' harus diberi upacara lebih dahulu. Janganlah mobil dicuci mengkilat lalu diberi sesajen, sementara pemilik mobil mandi pun tidak, apalagi melakukan persembahyangan. Kita sebagai ''manusia yang berpikir'' harus terus mengasah pikiran kita, karena itu inti dari Tumpek Landep.
Di era Kali Yuga (zaman edan) ini, pikiran yang mana perlu kita asah? Jika kita menyadari bahwa zaman ini penuh kegelapan, maka kita jangan ikut larut dalam kegelapan itu, kita perlu mengasah hati nurani kita agar peka terhadap berbagai persoalan yang diakibatkan oleh vibrasi Kali Yuga. Kita tak bisa mengasah hati nurani dengan membelenggu diri kita dalam lingkungan kecil, apalagi jika kita tak pernah keluar dari komunitas kita sendiri. Kita harus melebarkan pandangan dan melihat jauh ke luar dari lingkungan kita.
Kalau kita menjadi anggota DPRD, misalnya, janganlah kita hanya berkutat di gedung DPRD atau kantor bupati saja, bergaul dengan sesama anggota legislatif atau eksekutif melulu. Jika terbatas seperti itu, maka yang dipikirkan hanyalah bagaimana menambah gaji dari mempermainkan anggaran, bagaimana agar bisa mendapatkan Kijang Innova. Coba tengok rakyat di pedesaan, bagaimana sulitnya mendapat pupuk murah, bagaimana mahalnya kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau penderitaan rakyat itu kita hayati dengan hati nurani paling dalam, maka Kijang Innova betul-betul merupakan barang yang harus ditolak.
Sebagai manusia yang diberikan kesempatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih, gunakanlah ilmu pengetahuan itu di jalan dharma. Yang pertama kita lakukan adalah mensyukuri hal itu, bahwa ternyata kitalah yang diberi kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang lebih itu, orang lain tidak. Orang lain punya keterbatasan, entah ekonominya tidak mampu, entah otaknya tidak memadai, misalnya, ada kelainan atau sakit. Ilmu itu harus kita kembalikan ke masyarakat dengan mengangkat harkat kehidupan masyarakat.
Mungkin kita membuat sesuatu untuk menambah lapangan kerja, berbuat sesuatu untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. Sambil melakukan itu kita mengasah kepekaan nurani kita, bahwa betapa banyaknya kehidupan yang di bawah standar masih ada di masyarakat, sementara kita di atas melakukan perbuatan hura-hura. Kita di atas ribut dengan pembagian Kijang Innova, sementara di bawah ribut dengan beras murah yang penuh kutu.
Jika nurani kita peka, kita tak mungkin membiarkan petani kecil menjual tanahnya hanya untuk upacara ritual yang besar. Hal itu akan menambah penderitaan sang petani dengan keturunannya. Dengan ilmu yang kita peroleh, kita sadarkan petani miskin itu bahwa ritual yang sederhana pun bisa diakukan. Lalu dengan ilmu itu pula kita mencari terobosan bagaimana mengangkat kehidupan sang petani. Zaman ini memang penuh godaan, namanya saja Zaman Kali. Tetapi manusia-manusia yang punya kepekaan NURANI, akan selamat dari godaan ini. Karena itu asahlah nurani Anda, mumpung hari ini Tumpek Landep. * Putu Setia sumber: BaliPost
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda