MEMILIH pemimpin hendaknya jangan hanya berdasarkan karisma. Memilih pemimpin seyogianya berdasarkan suara hati nurani yang lepas dari pengaruh para provokator. Provokator umumnya sering menggunakan cara-cara yang agitatif dan bahkan mempengaruhi rakyat dengan kekuatan uang.
Pilihlah pemimpin yang tidak mengumbar kebencian dan dendam. Gunakanlah hati nurani dalam menanggapi rayuan orang yang menawarkan diri menjadi pemimpin. Perhatikan dengan hati nurani setiap gerak-gerik para pemimpin yang ingin muncul mengabdikan dirinya sebagai pelayan rakyat.
Janganlah memilih pemimpin yang menyalahgunakan pengaruh dan kekuasaan. Apalagi nyata-nyata menyuap demi kedudukan. Setelah duduk justru menggunakan segala fasilitas untuk menyingkirkan mereka yang melakukan kontrol yang kritis. Selanjutnya, menghambur-hamburkan uang rakyat untuk mereka yang memuji-mujinya.
Pemimpin yang demikian itu tidak akan membawa rakyat sejahtera, rukun dan damai. Justru akan membawa kehancuran bagi rakyat. Marilah memilih pemimpin yang tidak memiliki kebencian kepada siapa pun dan siap menjadi pelayan bagi rakyatnya. Pemimpin yang demikian itulah yang menjadi penerang dan penyejuk hati rakyat -- sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Regveda yang dikutip di atas.
Proses seseorang menjadi pemimpin agar seperti konsep Indra Brata dan Bayu Brata dalam ajaran Ramayana dan sastra Veda lainnya. Indra itu dewa hujan. Hujan itu berasal dari air laut yang menguap terkena panasnya matahari. Setelah menjadi mendung di langit, terus turun menjadi hujan memberi kehidupan pada tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup lainnya.
Demikianlah kita melihat pemimpin. Pilihlah pemimpin yang merasakan bagaimana panas-dinginnya mengabdi pada rakyat. Pemimpin yang demikian itulah yang patut dipilih. Setelah menjadi pemimpin ia betul-betul mengabdikan diri kepada masyarakatnya.
Pemimpin pun hendaknya selalu berada dalam berbagai dinamika rakyatnya. Dengan selalu dekat dengan rakyat, ia akan paham akan berbagai aspirasi rakyatnya. Pemimpin yang demikian itu tidak akan arogan, karena ia akan selalu menjadi pelaksana kehendak rakyat. Bukan rakyat yang menjadi pelaksana kehendak sang pemimpin. Pemimpin yang demikian itu akan dirasakan oleh rakyat sebagai sinar yang menerangi hatinya yang gelap.
Pemimpin juga bagaikan angin. Dalam ajaran Asta Bratha disebut Bayu Bratha. Sifat angin selalu berada di mana-mana. Tidak ada bagian dari tempat di atmosfir ini tanpa kehadiran angin. Angin selalu berembus dari tekanan yang tinggi menuju tekanan yang rendah. Ini artinya bahwa pemimpin itu selalu memperhatikan nasib rakyat yang hidupnya menderita. Tidak hanya gemar berada pada rakyat yang kaya, lalu mengadakan pesta pora dan berfoya-foya.
Dalam pemilihan presiden yang sudah amat dekat ini, marilah jernihkan hati nurani agar dapat melihat calon pemimpin yang benar-benar tepat. Demikian juga bagi masyarakat Bali hendaknya memilih pemimpin yang benar-benar akan dapat memperhatikan Bali sebagai bagian dari Indonesia.
Rakyat Bali sebagian terbesar beragama Hindu. Namun, dari tahun ke tahun umat Hindu selalu mendapat perhatian yang jauh lebih kecil dari pemerintah pusat. Misalnya anggaran pembinaan untuk umat Hindu selalu lebih kecil dibandingkan dengan umat yang lain. Demikian juga SDM yang melayani umat Hindu, jumlahnya selalu lebih kecil daripada umat yang lainnya. Keadaan ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat.
Marilah pilih pemimpin yang sanggup berbuat adil kepada umat Hindu di Bali khususnya, di Indonesia umumnya. Salah satu aspek yang akan dapat menjamin ajeg Bali adalah sikap pemerintah pusat yang adil kepada rakyat Bali. Bali janganlah dijadikan trade mark atau merek dagangan untuk mencari untung semata. Sumber kekuatan spiritual Bali adalah agama Hindu. Karenanya umat Hindu di Bali mesti mendapatkan perlakuan yang adil. Ketidakadilan akan justru dapat memicu ketidakajegan Bali. Inilah salah satu persoalan yang wajib diperhatikan oleh presiden yang akan dipilih beberapa saat lagi. Sikap yang adil inilah yang wajib dituntut oleh masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Tidaklah tepat kalau umat Hindu di Bali dianggap sebagai pelengkap penderita saja.
* I Ketut Gobyah
sumber: BaliPost
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda