KELUARGA BESAR BAPAK H.WIRANTO,SH.

KELUARGA BESAR BAPAK H.WIRANTO,SH.
" Semoga senantiasa tetap dalam lindungan yang Maha Kuasa dan senantiasa menjadi Insan yang tersayang disisNya, Amin .

HANURA TAK KAN KHIANAT HIDUP MATI UNTUK RAKYAT

DPC. PARTAI HANURA KAB.BONE

Rabu, 20 April 2011

ANTARA SUKMA NURANI & SUKMA DHULMANI

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakanIbnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi jugakarena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allahmeniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Akutiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakasatau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakandari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalamdirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukanpara sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung(al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakanjasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alamciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahlisufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelahditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh didalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia danterpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumberakhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani(binatang) dan jiwa insani.Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yangorganis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yangkecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah). Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah ataual-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga denganhakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yangkhusus, Dzatnya dan Penciptaannya.Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusiamempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yangdemikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifattercela, makaia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30) Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk. 

AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikiryang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa). Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan. HATI SUKMA (QALB) Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya. Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yangada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-79). Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para ilsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir. Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas. Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani --hati yang kotor. Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9). Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy, Kairo, 1983.
Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.
Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.
------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo, 1327 H.
------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentar Anda

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Kontak Kami

Email : dpchanurabone@yahoo.com
Website / Blog : www.dpchanurabone.blogspot.com
Mobile : 085 255 466 155
BB : 2ad9d210
 

Buku Tamu

Main Menu

Cari Blog Ini

Pendapat Anda Tentang Partai Hanura

KREATIVITAS DESAIN

 

Makna Sebuah Perubahan

Cepat atau lambat, akan datang masa-masa kritis dalam kehidupan kita. Dan reaksi kita sesungguhnya sedikit atau banyak akan menentukan kualitas kebahagiaan dan sukses kita di masa depan. Sejak awal hidup kita, tiap-tiap diri sesungguhnya telah ditakdirkan untuk menjumpai bencana.

Lihatlah lebih cermat lagi, maka kita akan mendapati bahwa situasi krisis sesungguhnya adalah kesempatan untuk terus maju, atau berhenti. Perubahan dalam hidup kita bisa memberi kita “inspirasi” atau “keputusasaan”.

Berikanlah makna pada perubahan, dan transformasikan menjadi sesuatu yang berharga. Pertumbuhan kepribadian kita seharusnya adalah proses merespon perubahan secara positif.

Bebatuan yang berharga bukanlah sesuatu yang yang bisa kita gosok tanpa menimbulkan keretakan. Begitu juga hidup, jangan kita bilang kita sempurna tanpa melewati ujian.

Templates by BENGKEL SURYA BONE | Powered by {Admin & TELUK BONE