HANURA TAK KAN KHIANAT HIDUP MATI UNTUK RAKYAT
DPC. PARTAI HANURA KAB.BONE
Minggu, 24 April 2011
Tulisan-Tulisan di Ranah Sensitif
Diposting oleh
DPC HANURA BONE
Sebuah tulisan bisa menjadi mata pisau yang sangat tajam, siap mengiris apapun dan siapapun. Sebuah tulisan bisa memporak-porandakan suatu kaum, bangsa, dan sebuah negeri. Sebuah tulisan bisa membuat seorang penguasa turun tahta. Sebuah tulisan bisa menggugah hati nurani orang yang membacanya. Sebuah tulisan bisa membuat orang tertawa, bahagia, sedih, dan menangis. Sebuah tulisan bisa dijadikan penggerak massa untuk melawan suatu rezim.
Bagi orang cerdik pandai, ia akan lebih memilih tulisan sebagai kekuatannya ketimbang memilih senjata yang dianggap lebih represif. Begitu pulalah Barack Obama, sebelum menjadi presiden, Obama menggalang kekuatan politiknya mulai dari tulisan. Dari tulisan, ia pun menuangkan ide, pemikiran, harapan, dan cita-cita tentang negerinya, Amerika Serikat. Lewat tulisan, Obama berusaha meyakinkan kalau ia pantas jadi Presiden Amerika Serikat dan akan membawa harapan dan perubahan besar di negerinya. “A New Hope”, demikian kata Obama dalam sebuah karya tulisnya.
Gara-gara tulisan, seorang jurnalis seperti Mochtar Lubis berkali-kali keluar masuk penjara. Ia ditahan antara 21 Desember 1956 dan 29 April 1961 yang sebagian besar tahanan rumah di Jakarta, kemudian ditahan lagi mulai 14 Juli 1961 sampai dengan 17 Mei 1966 di penjara militer di Madiun. Ia disekap di penjara tanpa diadili. Selanjutnya ia mengalami nasib sial lagi, antara 4 Februari dan 14 April 1975, ia dijebloskan dalam penjara Nirbaya Jakarta. Semua itu disebabkan gara-gara tulisannya yang sarat dengan kritikan terhadap pemerintah yang berkuasa saat itu.
Demikian pula halnya dengan penyair WS Rendra. Ia pun pernah masuk penjara. Puisi-puisi dan karya-karya sastra WS Rendra kerap menebarkan kengerian dan ketakutan pada penguasa, terutama semasa Orde Baru menitahi Indonesia. Tak hanya puisi, karya teaternya pun penuh kritikan dan sindiran terhadap penguasa rezim Orde Baru tersebut. Akibatnya, Pimpinan Bengkel Teater ini dilarang pentas antara Mei 1978 sampai akhir 1985. Karya drama Rendra juga sempat dilarang oleh penguasa, diantaranya “Mastodon dan Burung Kondor.”
Selain itu, seorang sastrawan yang pernah dicalonkan sebagai penerima Nobel, Pramoedya Ananta Toer, pernah mengalami pembuangan selama 14 tahun di Pulau Buru tanpa pengadilan. Dia dituding pro komunis karena masuk Lembaga Kebudajaan Rakjat atau dikenal dengan Lekra. Lembaga ini merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950. Selama masa pembuangan itu, Pramoedya banyak menghasilkan karya tulis. Tema-tema yang dipilihnya pun merupakan tema sensitif, sarat dengan kritik sosial dan politik, yang buat kuping pemerintah Orde Baru panas dan dituding sebagai penyebar ajaran komunis. Karya-karya tulis Pram pun dijadikan bacaan terlarang, dilarang beredar, dan diberangus. Tetralogi Bumi Manusia atau disebut juga Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru merupakan karya Pram yang diselesaikannya di Pulau Buru.
Jauh sebelum itu, pada masa “Demokrasi Terpimpin” tahun 1959, Pram pernah mengkritik kebijakan Presiden Soekarno. Waktu itu Soekarno menandatangani Peraturan Presiden No. 10. Peraturan itu berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Kebijakan Soekarno tersebut tak bisa diterima oleh Pram. Ia pun menulis, “Tak ada suatu kekuatan di atas bumi ini yang dapat melarang orang bicara dengan nuraninya sendiri,” katanya.
Pada masa lalu isu-isu politik merupakan tema yang cukup sensitif dan menarik perhatian banyak orang di negeri ini. Bahkan di era Orde Baru saya sering menemukan beberapa tulisan atau artikel di Majalah Time yang diblock dengan tinta warna hitam karena dianggap sensitif dan menyinggung Pemerintahan Orde Baru. Sungguh aneh jadinya kalau melihat tulisan-tulisan yang diblock tersebut, halaman jadi terlihat belang-belang seperti kulit Zebra.
Kini, isu-isu politik tak lagi dianggap sebagai ranah yang sensitif. Sejak reformasi bergulir, kebebasan berpendapat benar-benar tersalurkan. Setiap orang bebas mengkritik, menyindir, dan menghujat pemerintah, penguasa, birokrasi, wakil rakyat, dan sebagainya. Penguasa seperi Pak SBY pun tak akan marah-marah pada Mas Inu meski buku tetraloginya yang berjudul Pak Beye tersebut penuh dengan tulisan-tulisan satire. Mas Inu sebagai penulisnya pun tak perlu was-was dikejar intel seperti yang pernah dialami Mochtar Lubis, Rendra, hingga Pramoedya.
Di era reformasi ini, masalah keyakinan, ketuhanan, agama, atau yang lebih dikenal dengan SARA tetap menjadi tema yang sangat sensitif. Tak heran kalau beberapa media terbuka dan bersifat online seperti Kompasiana sangat menghindari topik-topik yang sangat sensitif ini. Tema-tema yang berasal dari ranah sensitif tersebut apabila tak ditulis dengan hati-hati mampu membuat orang tersinggung, marah, hingga jadi lebih beringas dan memecah belah. Tulisan-tulisan semacam itu juga cenderung membuat penulis-penulisnya merasa paling benar dan mau menang sendiri. Kalau gejala ini yang tampak, tentu akan menimbulkan perdebatan yang tak ada habisnya, karena masing-masing pihak pasti akan mempertahankan pendapat dan kebenarannya. Kalau sudah begitu tentu akan berlaku efek domino, bola salju, dan sejenisnya hingga memicu suatu konflik sosial yang parah dan tak manusiawi.
Sumber gambar/foto: http://apoenkreseach.files.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kontak Kami
Email : dpchanurabone@yahoo.com
Website / Blog : www.dpchanurabone.blogspot.com
Mobile : 085 255 466 155
Website / Blog : www.dpchanurabone.blogspot.com
Mobile : 085 255 466 155
BB : 2ad9d210
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda